Menurut madzhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (9/50-51) berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya boleh, dengan syarat (1) tidak ada obat yang berasal dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya, jika terdapat obat dari bahan yang suci maka haram berobat dengan benda najis, dan (2) jika memang benda najis itu diketahui –secara ilmu kedokteran- berkhasiat obat dan tidak ada obat lain dari bahan yang suci yang bisa menggantikannya.

Pemahaman ini diambil dari hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang orang-orang dari ‘Urainah yang berobat dengan air kencing unta, dan kencing unta menurut madzhab Syafi’i hukumnya najis. Dan mereka memahami hadits ‘Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian dari apa-apa yang diharamkan atas kalian’[1], ‘Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan yang haram’[2], dan ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan obat yang kotor (khabits)’[3] adalah jika didapatkan obat dari bahan yang suci, dan jika tidak ada obat tersebut, maka berobat dengan benda najis, selain khamr, hukumnya boleh.

Al-Baihaqi, sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi, menegaskan bahwa dua hadits yang disebutkan terakhir, jika shahih, ia adalah larangan berobat dengan sesuatu yang memabukkan dan berobat dengan yang haram tanpa ada kondisi darurat, sebagai bentuk jama’ antara dua hadits tersebut dengan hadits tentang orang-orang ‘Urainah.

Tentang pengecualian khamr dari kebolehan berobat dengan benda najis dalam keadaan darurat, hal ini merupakan pendapat yang shahih menurut jumhur ‘ulama Syafi’iyah, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dan ar-Rafi’i. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Muslim, dari Wail ibn Hujr radhiyallahu ‘anhu, bahwa Thariq ibn Suwaid al-Ju’fi bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang khamr, dan Rasulullah melarangnya serta membenci pembuatannya, Thariq kemudian berkata, ‘Aku membuatnya sebagai obat’, Rasulullah kemudian menjawab ‘Ia bukan obat, tapi penyakit’.

Jika ada yang menyatakan bahwa dibolehkannya orang-orang ‘Urainah meminum kencing unta menunjukkan sucinya air kencing tersebut, sebagaimana yang dikemukakan kalangan Hanabilah, ulama Syafi’iyah sudah ada jawabannya. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, hukumnya najis. Mereka menguatkan pendapatnya dengan beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya hadits riwayat al-Bukhari tentang orang Arab badui yang kencing di masjid Nabawi, dan hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang dua orang yang disiksa di kuburnya, salah satunya akibat ia tidak menjaga diri dari air kencing. Menurut mereka, air kencing yang dianggap najis ini berlaku umum, bukan hanya untuk kencing manusia.

Sedangkan tentang kenajisan kotoran hewan, mereka berargumentasi dengan hadits riwayat al-Bukhari, bahwa suatu waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin buang hajat, kemudian beliau memerintahkan Ibn Mas’ud untuk mencari tiga buah batu untuk beliau beristinja. Ternyata Ibn Mas’ud hanya menemukan dua buah batu, kemudian beliau membawa dua buah batu tersebut beserta rautsah (kotoran hewan yang sudah kering) kepada Nabi, kemudian Nabi mengambil dua buah batu itu, dan membuang rautsah tersebut seraya berkata, ‘haadzaa riksun’. Dan ulama Syafi’iyah memahami makna riksun adalah najis, sebagaimana misalnya diungkapkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di dalam Fathul Bari (1/125). Asy-Syaukani pun, yang notabene bukan dari kalangan Syafi’iyah, dalam Nailul Authar (1/126) menyatakan bahwa sebab dilarangnya menggunakan rauts adalah karena ia najis, dan najis tidak bisa digunakan untuk menghilangkan najis yang lain.

Sebagai penutup, saya kemukakan bantahan an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/549) terhadap argumentasi orang-orang yang menyatakan kesucian air kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya. Argumentasi pertama dengan hadits dari Anas tentang orang-orang ‘Ukl dan ‘Urainah yang meminum air kencing unta, dijelaskan oleh an-Nawawi bahwa itu adalah untuk pengobatan, dan berobat dengan benda najis selain khamr hukumnya boleh. Sedangkan argumentasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Barra’ secara marfu’, ‘Apa saja yang dimakan dagingnya, maka tidak apa-apa (tidak najis) air kencingnya’, dan juga diriwayatkan yang serupa dengannya dari Jabir secara marfu’, dijawab oleh an-Nawawi bahwa kedua hadits itu didhaifkan oleh ad-Daraquthni.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Abu Furqan al-Banjary


[1] Disebutkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari (7/110) tanpa sanad, dan dinisbahkan pada Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Demikian juga disebutkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shaghir (4/84).
[2] Riwayat Abu Dawud No. 3874.
[3] Riwayat Ahmad No. 8048, 9756, 10194, Abu Dawud No. 3870, dan at-Tirmidzi No. 2045